SENI UKIR PADA MASA HINDU BUDDHA DI INDONESIA
Penulis : Ikhwatun Muamalah
A. Latar Belakang Seni Ukir di Indonesia
Kehadiran seni ukir di Indonesia sebenarnya telah tumbuh pada zaman purba ketika kesenian Indonesia menerima unsur-unsur seni Hindu. Dalam perkembangan waktu yang cukup lama, seni ukir menjadi milik bangsa Indonesia dan diwujudkan dalam mengisi dinding-dinding arsitekturnya. Hal ini dapat dilihat pada seni bangunan percandian yang memiliki karya-karya batu ornamentik yang indah.
Menurut Van den Berg dan Kroskamp, seni arca berasal dari bangsa Hindu, tetapi mereka mengatakan bahwa yang membuat candi dan arca di Dieng adalah orang Jawa sendiri. Seniman tersebut menciptakan bangunan di Dieng berdasarkan pengetahuan dari guru-guru mereka yang berasal dari India. Dengan demikian seni bangunan dan seni arca yang ada di Indonesia mempunyai corak tersendiri sebagai hasil dari kreativitas orang Indonesia.
Usaha pemeliharaan dan pengembangan seni ukir klasik ini dipertahankan terus dari bentuk serta keindahannya, sehingga mencapai puncak perkembangannya pada zaman keemasan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari berita perjalanan Hayam Wuruk yang ditulis oleh pujangga Prapanca yang berbunyi antara lain, bahwa dalam perjalanan tersebut Hayam Wuruk telah mengunjungi beberapa tempat suci seperti candi Penataran yang didirikan di lereng gunung Kelud. Pada dinding candi tersebut terdapat relief tokoh pewayangan dan juga banyak arca yang indah.
Sejalan dengan masa suramnya kerajaan Majapahit, berkembanglah agama Islam serta peradabannya di Jawa, khususnya di pantai utara Jawa. Bila pertumbuhan seni ukir diawali dengan masuknya agama Hindu di Jawa, maka berkembangnya seni ukir seiring dengan berkembangnya kebudayaan Islam yang berpusat di kesultanan Demak melalui proses akulturasi. Walaupun kerajaan Majapahit mengalami masa surut, namun tidak berarti membawa runtuhnya seni hias klasik di Jawa, bahkan ia merupakan awal dari perkembangan baru kebudayaan zaman madya dengan bentuknya yang khusus terutama adanya pengaruh agama Islam.
Dalam banyak hal kebudayaan Islam memang sangat berpengaruh terutama dalam pelarangan mewujudkan bentuk-bentuk figur ataupun makhluk hidup dalam setiap unsur ukiran. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya bentuk-bentuk yang telah distilir dari makhluk hidup tersebut. Pengaruh Islam juga menyebabkan seni patung tidak berkembang di Jepara, sehingga terjadi perbedaan yang nyata antara perkembangan seni ukir di Jepara dengan seni ukir yang berkembang di Bali.
Berikut ini disajikan contoh-contoh visual gaya seni ukir yang berkaitan dengan aneka ragam motif hias dan gaya mebel ukir yang berkembang di Jepara.
B. JENIS-JENIS MOTIF HIAS
1. MOTIF HIAS PERCANDIAN
“Salah satu adegan dalam kisah Mahakarmmawibhangga, terlihat serombongan orang (berpayung) memberikan persembahan kepada orang-orang miskin. Pada adegan kiri terlihat ada seorang penting (bangsawan?) yang dihadap oleh para pengikutnya.”
Adegan-adegan relief tersebut sudah barang tentu dibuat oleh nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, dan apabila diperhatikan dapat dijumpai adanya kecermatan, ketepatan, dan keseuaian antara objek yang digambarkan dengan objek sebenarnya. Media batu sebenarnya merupakan sesuatu yang sulit untuk dibentuk karena sifatnya tidak plastis, namun nenek moyang kita telah mampu menghadirkan estetika tingkat tinggi pada relief-relief batu tersebut.
https://hurahura.files.wordpress.com/2010/12/agus-2.jpg
“Sebagian adegan relief cerita Ramayana di dinding Candi Siwa Prambanan, menggambarkan pesta di Ayodya. Relief digambarkan dengan dinamis, cermat, dan naturalis sesuai dengan gambaran objek sebenarnya.”
Relief-relief cerita yang digambarkan di kedua candi besar tersebut jelas digarap oleh tangan-tangan silpin (seniman) yang terampil pada masanya. Mereka juga telah berhasil menghadirkan suasana dan karakter pada penggambaran relief. Pada relief-relief di Candi Borobudur suasana khidmat yang syahdu senantiasa terdapat pada setiap penggambaran panil reliefnya, karena memang candi itu dibangun untuk sarana meditasi. Lain halnya dengan relief Ramayana dan Krsnayana di percandian Prambanan, panil-panilnya selalu menggambarkan suasana dinamis, kepahlawanan, dan penuh perjuangan.
https://hurahura.files.wordpress.com/2010/12/agus-3.jpg?w=300&h=249
Arca Dewi Parwati (Tribhuwanottunggadewi) dan Hari-Hara (Raden Wijaya)
Arca-arca tersebut digarap dengan kecermatan yang luar biasa, para silpin agaknya berupaya untuk menggambarkan wajah tokoh yang diarcakannya sesuai dengan keadaan sebenarnya, kemudian baru dibalut dengan busana kebesaran seorang dewa. Tradisi pembuatan arca potret tersebut tidak pernah ada di Tanah India sendiri, jadi asli hasil kreativitas pemikiran keagamaan dan juga penuangan ekspresi seni nenek moyang bangsa Indonesia sendiri.
https://hurahura.files.wordpress.com/2010/12/agus-4.jpg
Salah satu arca potret dalam masa akhir Majapahit, masa itu pembuatan arca potret telah merebak dalam masyarakat, jadi tidak hanya didominasi oleh kaum bangsawannya saja. Arca-arca potret tersebut mempunyai ciri sebagai berikut:
1) digambarkan statis-kaku dengan badan tegak dan kedua tangan terjulur di samping tubuh atau bermeditasi di dadanya.
2) mata digambarkan terpejam atau setengah terpejam
3) digarap secara simetris pada tataran kanan-kiri arca
4) apabila digambarkan adanya hewan, maka hewan tersebut juga dalam sikap statis.
Arca-arca perwujudan tersebut bukan semata-mata diabdikan untuk keperluan keagamaan, akan tetapi juga merupakan ekspresi seni dari para silpin pembuatnya. Maka pada masa Majapahit sudah pasti terdapat silpin-silpin maestro dan juga silpin pemula. Dapat ditafsirkan arca-arca yang berpenampilan luar biasa indah seperti yang berasal dari Candi Sumber Jati dan Ngrimbi, pastinya para silpin istana yang sudah tinggi ilmunya apabila dibandingkan dengan silpin-silpin pedesaan yang belum mampu membuat arca yang indah dan berkharisma.
2. MOTIF HIAS KEDAERAHAN
0 komentar:
Posting Komentar